Gerakan Rakyat Menuju Kemerdekaan Penuh

Lapangan Tahrir Mesir, ikon revolusi Mesir
Tahun 2011 disebut-sebut sebagai tahun bangkitnya kekuatan rakyat dan demokratisasi di negara-negara Arab. Gelombang revolusi Arab atau populer dikenal sebagai “Arab Spring” berakar dari pusat Afrika, Tunisia, Mesir, menyebar ke seluruh dunia Arab hingga ke Timur Tengah.

Tunisia dan Mesir telah memulai proses demokratisasi dengan menggelar pemilihan umum pertama, pasca tumbangnya rezim Tirani Ben Ali dan Hosni Mubarak. Penilaian keberhasilan revolusi dan masa depan di Tunisia, Mesir, Libia, dan negara-negara Arab kini berkaitan dengan kedaulatan sejati dan kemerdekaan penuh dari hegemoni Barat. 

Gerakan kekuatan rakyat di dunia Arab dimulai ketika seorang pemuda Tunisia bernama Mohamed Bouazizi membakar diri, setelah dilarang berjualan buah-buahan untuk memperoleh uang. Tindakan ekstrim Bouazizi memicu aksi protes terbuka pertama kepada pemerintahan Tunisia pada 18 Desember 2010, yang kemudian membangkitkan gelombang demonstrasi di seluruh dunia Arab.   

Revolusi Arab dimotori oleh kaum muda memiliki tujuan yang sama menuntut perubahan sistem akibat ketidakpuasan sistem politik, sosial dan ekonomi dengan terbatasnya lapangan pekerjaan serta kemiskinan. Aksi demonstrasi rakyat menggunakan taktik seragam yakni melakukan aksi protes damai dan menduduki pusat kota.

Bangkitnya gerakan kekuatan rakyat telah menyebabkan tumbangnya pemerintahan tirani Presiden Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak, memicu perang sipil Libya hingga mengakibatkan terbunuhnya penguasa Libia Moammar Kadhafi. Gelombang revolusi menjalar mendesak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh setuju untuk mengundurkan diri setelah aksi protes rakyat selama lebih dari 8 bulan. Aksi protes puluhan ribu orang masih berlangsung di Suriah, Aljazair, Irak, Jordan, Kuwait, Morocco, dan Oman.

Sedangkan demonstrasi kecil juga terjadi di Lebanon, Mauritania, Saudi Arabia, Sudan, dan Sahara Barat.

Dalam masa revolusi Arab beberapa pemimpin negara Arab mengumumkan pengunduran diri dan niatnya untuk tidak melanjutkan masa pemerintahannya. Reformasi demokrasi dan hak asasi manusia juga terjadi di dunia Arab. Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul-Aziz melakukan reformasi politik dengan mengizinkan wanita mengikuti pemilihan umum. Pemerintah Aljazair mencabut undang-undang darurat, Morocco melakukan referendum reformasi konstitusi. 

Tunisia dan Mesir dinilai sukses menumbangkan rezim tanpa campur tangan asing. Awalnya, tuntutan perubahan itu murni dari dalam, dengan mayoritas rakyat yang menginginkan kehidupan ke arah lebih baik, dan hak asasi manusia. Namun, negara-negara barat berusaha keras agar perubahan yang terjadi di dunia Arab tidak mengancam kepentingan mereka.

Barat dihantui oleh rasa takut bangkitnya kekuatan Islamis yang dapat mengancam nilai-nilai Barat di seluruh dunia Arab. Oleh karena itu, dalam suasana krisis politik Barat berusaha menunggangi revolusi dengan menempatkan kelompok oposisi yang mengusung kepentingan mereka. Barat mensponsori gerakan pemberontakan melawan pemerintah berkuasa di Libia, Yaman dan Suriah. Amerika Serikat (AS) dan NATO dilaporkan telah melatih pemberontak bersenjata Suriah di Turki.

Inflitrasi Barat dalam revolusi rakyat terlihat jelas di Libia. Demonstrasi damai Libia telah berubah menjadi gerakan pemberontak dan perang sipil. Negara aliansi Barat, NATO, dengan dukungan dari pemberontak Dewan Transisi Nasional melakukan serangan udara dan memasok senjata kepada pemberontak. Perang berakhir pada pembunuhan Moammar Kadhafi.


Gelombang demokratisasi di dunia Islam yang muncul secara spontan telah diorganisasikan oleh Barat dengan melatih dan mendanai pihak oposisi. Analis, penulis dan sejarahwan William F Engdahl mengungkapkan tujuan utama AS menginflitrasi revolusi Arab adalah untuk menutup sumber-sumber daya yang mengarah langsung pada pertumbuhan ekonomi Rusia dan Tiongkok. Washington berusaha mengendalikan demokratisasi di seluruh dunia Islam dan menjarah negara-negara produsen minyak Afrika.

Engdahl memaparkan, agenda utama Washington terkait dengan rencana privatisasi dan pasar bebas IMF sehingga lembaga keuangan dan korporasi Barat bisa masuk ke negara-negara Arab. Agenda kedua adalah mengendalikan, lewat militer, kekayaan sumber daya minyak di Libia dan Sudan yang berpotensi langsung bagi strategi masa depan pertumbuhan ekonomi Tiongkok.

Lalu pertanyaan berkembang, apakah negara-negara Arab mengalami perubahan ke arah lebih baik dan lebih demokratis?

Setelah revolusi situasi politik di Tunisia dan Mesir malah semakin bertolak belakang dengan apa yang menjadi harapan aktivis revolusi sekuler dan dari perkiraan Barat. Pemilihan umum pertama Tunisia, pasca tumbangnya Ben Ali, memenangkan Partai Islam Ennahda.

Sementara Mesir masih berada dalam kendali kekuatan militer dengan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata menolak untuk mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil. Pemilihan umum pertama Mesir, setelah revolusi, juga memenangkan partai Islam Ikhwanul Muslimin dan Islam Fundamentalis Nour.
Barat tidak puas dengan hasil pemilihan umum di Tunisia dan Mesir, dua negara sekuler aliansi Barat. Perubahan di Tunisia dan Mesir otomatis mengacaukan agenda kepentingan Barat serta merubah peta perpolitikan regional. Pentagon menunjukkan kekhawatiran bangkitnya kekuatan politik partai Islam akan mendorong Mesir menjadi negara hukum Islam dan menjauh dari aliansi.

“Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir yang mengambil alih pemerintahan setelah jatuhnya Hosni Mubarak sedang menunggu instruksi Pentagon di tengah-tengah masih kuatnya gerakan demonstrasi rakyat Mesir,” kata Engdahl.

Sementara Libia, sebelumnya memiliki standar hidup paling tinggi dari semua negara-negara Afrika sebelum kampanye pemboman aliansi AS dan Eropa (NATO). Kini, negara itu dalam keadaan kacau bukan karena rezim Moammar Kadhafi melainkan karena serangan NATO.  Dewan Transisi Nasional menjadi pemerintahan boneka Barat dan membangun basis kekuatan aliansi Barat yang tidak pernah terjadi dalam 42 tahun pemerintahan Kadhafi.

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menegaskan proses demokrasi di Tunisia dan Mesir telah berjalan, terlepas apakah pemerintahan akan dikendalikan oleh kelompok pro Barat atau fundamentalis Islam.

“Proses demokrasi tidak bisa diintervensi oleh Barat. Jika Mesir jatuh kepada kelompok fundamentalis mungkin dinilai sebuah kemunduran oleh Amerika Serikat, akan tetapi proses demokratisasi Mesir telah berjalan dengan bagus,” tandasnya.      

Juwana menegaskan proses demokratisasi di negara-negara Islam harus terus berjalan dengan tujuan suara rakyat didengar oleh pemerintahan berkuasa. Intervensi dari AS terhadap proses demokratisasi di negara-negara Arab harus diperkecil dengan memunculkan Organisasi Konferensi Islam. AS pun sekarang sedang berhitung  karena setelah Libia, AS tidak ingin dituding menjadi pihak yang merancang revolusi Arab. 

Pengamat Internasional dari Universitas Pertahanan Bartarto Bandoro menambahkan pola pemerintahan demokrasi yang dibangun di negara-negara Arab harus sesuai dengan gaya Timur Tengah berdasarkan ke-khasan negara itu sendiri. Dia memperingatkan jangan sampai imperialis Barat merasuk ke dalam Timur Tengah.

“Jangan dipaksakan nilai-nilai AS atau jangan sampai AS memaksakan nilai-nilai atau kepentingannya,” tuturnya.

Pada akhirnya, Revolusi Arab sekarang tidak lagi memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan rakyat Arab, tetapi kepada politik regional. Perdebatan mengenai kemungkinan berlanjutnya politik Islam lebih kental hingga meningkatkan kecemasan Barat mengenai masa depan “Arab Spring”. Washington berusaha memastikan bahwa perubahan di negara-negara Arab tidak mengancam kepentingan AS dan per-politikan di Timur Tengah. Perubahan yang terjadi di kawasan Afrika dan Timur Tengah turut mempengaruhi kepentingan politik dan ekonomi tidak hanya bagi Barat tetapi juga Rusia dan Tiongkok. [SP/Daurina Lestari Sinurat]  

Comments

Popular Posts