Wanita Dimanakah Suaramu?


Sepuluh perempuan raih penghargaan Interntional Women of Courage Awards 2012
Membaca berita Voice of America (VOA) berjudul: 10 Perempuan Dunia Terima Penghargaan, kembali menguak sebuah pertanyaan dalam pikiran saya, dimanakah suara wanita Indonesia berada? Hingga kini, wanita masih warga negara kasta kedua di Indonesia.

Dalam artikel itu dilaporkan sebanyak 10 perempuan menerima penghargaan 'International Women of Courage Awards 2012.' Sepuluh aktivis perempuan itu mendapat penghormatan atas upaya mereka memperbaiki kehidupan perempuan meskipun mereka menghadapi berbagai kendala dan ancaman atas keselamatan mereka. Mereka telah bekerja tanpa mengenal lelah untuk memperbaiki kehidupan perempuan dan anak perempuan, meskipun kadang-kadang harus masuk penjara dan perlakuan kejam.

Namun, yang menjadi perhatian saya adalah para penerima penghargaan itu, mereka berasal dari Afrika dan negara-negara Arab. Pemenang penghargaan termasuk Hana Elhebshi, seorang aktivis politik dari Libya dan Jineth Bedoya Lima, seorang wartawati investigatif dari Kolombia yang terus menulis tentang isu-isu perempuan meskipun telah diperkosa dan disiksa karena membongkar jaringan penyelundupan senjata.

Di Indonesia, tingkat kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, posisi perempuan di dunia politik masih sangat minim. Setiap tahun Komnas Perempuan mendokumentasikan data kekerasan terhadap perempuan yang terus mengalami peningkatan. Tahun 2010, data perempuan yang mengalami kekerasan mencapai 105.103 orang dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 119.107 orang.

Fenomena akhir-akhir ini bahkan menggambarkan  perempuan menjadi korban perkosaan di wilayah publik seperti di dalam transportasi umum, KDRT, kekerasan dan diskriminasi selama bekerja. Regulasi ketenagakerjaan pun masih diskriminatif, dimana upah rendah, pelecehan seksual, cuti haid maupun cuti hamil yang tidak diberikan dengan layak, kekerasan verbal, pelarangan membangun serikat buruh dan intimidasi terus terjadi di pabrik-pabrik.

Provinsi Papua memiliki prevalensi tertinggi untuk kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Papua memiliki angka kekerasan terhadap wanita 4,5 kali lebih tinggi dari angka rata-rata nasional.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemneg PPPA ) secara nasional setiap 1.000 perempuan terdapat sekitar 31 perempuan berpeluang menjadi korban tindak kekerasan atau rata-rata 3,1%. Sedangkan untuk provinsi Papua angka korban kekerasan dalam 1.000 perempuan terdapat 136 perempuan berpeluang mengalami kekerasan atau 13,62%.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar pernah mengatakan bahwa budaya turut mempengaruhi mempengaruhi paradigma yang menempatkan wanita lebih rendah dari laki-laki.

Aktivis perempuan Yenny Wahid menambahkan, tekanan terhadap wanita muslim seperti fatwa dan penyiksaan majikan-pegawai masih kuat. Wanita masih dilihat hanya sekedar "sumur, dapur dan kasur".

Pekerja perempuan di sektor informal pada umumnya kurang diberikan jaminan perlindungan secara hukum dan jaminan kesejahteraan yang memadai, termasuk  kondisi kerja yang memprihatinkan dan rentan akan kekerasan.

Posisi perempuan di kursi legislatif masih minim kurang dari 30 persen. Sejumlah politisi perempuan di parlemen Indonesia telah berusaha mengulirkan usulan pemberian kuota minimal 30 persen kursi DPR dan
DPRD. Namun, sejak usulan itu dimunculkan pertama kali pada 2003, hal itu masih cuma berkutat di level wacana, belum menjadi ketetapan undang-undang. Suara perempuan masih sangat sedikit dalam mendorong perubahan kebijakan publik.

Indonesia kalah jauh dibanding dengan Swedia. Duta Besar Swedia Ewa Polano mengungkapkan wanita Swedia hak sama dengan pria. Perempuan memiliki kuota yang sama dengan laki-laki di parlemen, bahkan wanita memiliki sekitar 60 persen kursi parlemen Swedia.  Di sektor swasta pun peran wanita didorong agar menduduki 40 persen posisi di dewan pimpinan perusahaan. Pekerja wanita diberikan keleluasan untuk bekerja paruh waktu sehingga mereka bisa menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarganya.

“Negara Swedia adalah negara liberal dan demokratis sehingga setiap orang diberlakukan sama baik pria dan wanita. Peraturan pemerintah turut mendukung dengan memberikan kuota bagi wanita di parlemen, meningkatkan besar gaji perempuan dan memberikan subsidi kepada rumah tangga dan perawatan anak,” ucapnya.

Hari Perempuan

Tanggal 8 Maret merupakan hari perempuan Internasional yang selalu diperingati oleh kaum perempuan di seluruh dunia untuk merefleksikan kemenangan gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan perempuan. Pada 1910 kelompok sosialis menginisiasi konferensi internasional di Copenhagen menilai pentingnya satu momentum hari perempuan internasional sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan hak-hak asasi perempuan dan mendorong perjuangan hak suara perempuan di seluruh dunia.  Baru setahun kemudian, pada 1911, Hari Perempuan Internasional pertama kali diperingati di Denmark, Austria, Jerman, dan Swiss yang melibatkan satu juta perempuan dan laki-laki yang melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan: hak ikut serta dalam pemilu, hak untuk bekerja, dan penghapusan diskriminasi dalam bekerja.

Sudah sekitar satu abad sejak hari perempuan internasional pertama kali diperingati, seruan untuk meningkatkan peran wanita di masyarakat masih terus bergaung. Ketika revolusi Arab atau dikenal dengan "Arab Spring" Suara-suara wanita menuntut persamaan hak mulai bergaung di negara-negara Arab dan Afrika. Momentum itu pun ditandai dengan kemenangan tiga perempuan meraih Nobel Perdamaian 2011.

Presiden Liberia Ellen Johnson-Sirleaf, dan rekan senegaranya, Leymah Gbowee, serta aktivis perempuan dan demokrasi Yaman Tawakkal Karman memenangkan hadiah Nobel Perdamaian 2011. Ketiga perempuan itu telah memobilisasi sesama perempuan dalam melawan perang sipil di negara mereka.

Dalam pernyataannya, komite nobel Norwegia menyatakan bahwa hadiah nobel kepada ketiga perempuan akan mengakhiri penindasan terhadap perempuan yang masih terjadi di banyak negara, dan untuk menyadari potensi besar demokrasi dan perdamaian yang bisa diwakili perempuan.

Momentum-momentum itu harus dipertahankan, malah harus semakin diperluas pengaruhnya di seluruh dunia, terutama Indonesia. Wanita harus lebih aktif di masyarakat,  menempati posisi strategis di masyarakat dan terlibat dalam masalah-masalah masyarakat.

Mari para wanita Indonesia gaungkan lah suara-mu, serukan hak-hak mu dan perluas gerak langkahmu.

Selamat Hari Perempuan Internasional!!





Comments

  1. Sudah waktunya Perempuan untuk bangkit. Semoga sukses ya. Oh..ya, mohon beri komentar pada tulisan berikut ini ya - Memanusiawikan Lingkungan Sungai Ciliwung dan Sekitarnya

    ReplyDelete
  2. apakah terdapat data lainnya yang secara rinci memberikan gambaran secara khusus mengenai tingkat kekerasan terhadap perempuan per provinsi? mohon pencerahannya.

    ReplyDelete

Post a Comment

, ,

Popular Posts