Selesaikan Konflik Tanpa Senjata
Insiden kejahatan senjata api (pistol) di Indonesia dan
seorang mahasiswa menembak mati 7 orang di Universitas Oikos, Oakland, Amerika
Serikat, April lalu, telah membangkitkan topik hangat terkait kepemilikan
senjata api. Ada panggilan baru dari
publik untuk melakukan proliferasi senjata api di jalan-jalan atau di tempat
umum.
AS menjadi negara dengan tingkat pembunuhan melibatkan
senjata api tertinggi di antara negara-negara yang memberlakukan undang-undang
pengendalian senjata ketat. Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) melaporkan ada
25.423 pembunuhan menggunakan senjata api sepanjang 2006-2007 di AS. Amerika Serikat (AS) juga tercatat sebagai
negara paling banyak memiliki senjata api sipil di dunia yakni sekitar 39
persen keluarga AS memiliki senjata api, pada 2006. Pertahanan diri telah
menjadi alasan umum untuk memperoleh izin kepemilikan senjata api di AS, negara
dengan tingkat kejahatan tinggi.
Finlandia merupakan negara ketiga setelah AS dan Yaman
dengan pemilik senjata api sipil terbanyak di dunia, sekitar 50 persen keluarga
di Finlandia memiliki senjata api. Finlandia memiliki budaya berburu dan
kepemilikan senjata dengan sekitar 1,6 juta senjata api berada di tangan
pribadi. Finlandia memberikan izin kepemilikan senjata api bagi penduduk
berusia 15 tahun ke atas. Finlandia
juga merupakan salah satu negara dengan tingkat pembunuhan terkait senjata api
tertinggi, sekitar 14 persen.
Inggris menjadi contoh utama bagaimana kejahatan semakin meningkat setelah implementasi undang-undang pengendalian senjata. Sebuah studi menunjukkan penggunaan pistol genggam naik 40 persen, menjadi 3.685 kasus pada 1999/2000, dua tahun setelah senjata dilarang. Inggris memperkenalkan undang-undang melarang kepemilikan senjata pada 1997, sebagai respon atas tragedi pembantaian di sebuah sekolah dasar oleh Thomas Hamilton menyebabkan 16 anak-anak dan tiga guru tewas.
Hasil studi Kampanye Penembakan menyimpulkan bahwa meski undang-undang pengendalian senjata diperkenalkan, kejahatan menggunakan senjata api meningkat. Pasalnya, undang-undang lebih menarget pengguna senjata sah, daripada kriminal.
Penggunaan senjata api ilegal merupakan ancaman sesungguhnya di Inggris. Kejahatan senjata api pun meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 9.865 kasus pada 2009. Kepolisian Inggris pun berjuang untuk mengatasi kekerasan geng, di mana penggunaan senjata api semakin umum, dan menangkap pelaku perdagangan senjata ilegal. Kepolisian metropolitan London memulai patroli rutin di jalan-jalan, terutama di kawasan banyak kelompok geng. Kejahatan senjata menjadi umum di wilayah didominasi budaya geng, tempat kerap terlihat penggunaan senjata sebagai cara menyelesaikan masalah dengan musuh.
Klaim
Dengan catatan itu, muncul klaim bahwa semakin banyak kepemilikan senjata api menyebabkan tingginya tingkat kejahatan dan pembunuhan. Namun, menurut Studi Peraturan Senjata Api Perserikatan Bangsa-Bangsa, tingkat pembunuhan senjata api AS pada 1999 masih sangat rendah hanya 4 per 100.000, dibanding Afrika Selatan yang mencatat tingkat pembunuhan non senjata api 49 per 100.000 pada 1995. Kanada memiliki tingkat kepemilikan senjata api sipil sebesar 29 persen, tapi memiliki tingkat pembunuhan terkait senjata api sangat kecil hanya 0,76 per 100.000 pada 1992.
Kebanyakan negara-negara Eropa memberlakukan undang-undang senjata, pasca perang dunia ke-II. Motif dibuat undang-undang bukanlah kejahatan, melainkan terorisme dan kekerasan politik. Seperti Norwegia sekitar 32 persen rumah tangga memiliki senjata api, tapi tingkat pembunuhan melibatkan senjata api hanya 0,30 per 100.000, demikian juga Prancis.
Dengan demikian kian banyaknya kepemilikan senjata api tidak memiliki korelasi positif dengan pembunuhan atau kejahatan di suatu negara. Rendahnya tingkat kriminal menjadi faktor utama rendahnya tingkat pembunuhan melibatkan senjata api. Tingginya tingkat kejahatan terutama diakibatkan kesenjangan sosial dan budaya kekerasan.
Akan tetapi kepemilikan senjata tetap dipersalahkan atas banyaknya pembunuhan atau kejahatan terkait senjata. Mayoritas pembunuhan terkait senjata api di AS dilakukan oleh pelaku pemegang izin kepemilikan senjata api. Hanya 18 persen pelaku kasus penembakan bukan pemilik sah senjata pembunuh.
Sejarah AS mencatat kekerasan terkait senjata mencapai puncak pada akhir 1980-an dan 1990-an sebagian besar didorong oleh epidemi kokain. Tingkat kejahatan senjata api paling banyak terjadi di kota metropolitan, tempat dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi. Masyarakat di 50 kota besar AS ternyata menyumbang 67 persen kasus pembunuhan senjata api. Kasus pembunuhan di kalangan pemuda melibatkan senjata api tercatat tertinggi. Kebanyakan laki-laki, berusia 10-19 tahun di pusat kota menyumbang 73 persen kasus pembunuhan.
AS sendiri sudah memiliki undang-undang melarang penggunaan
senjata api, tapi mempertahankan hak sah kepemilikan senjata api. Tingginya
tingkat kejahatan di AS turut mendorong banyaknya permintaan pemilikan senjata
api khususnya pistol genggam untuk perlindungan diri.
Langkah-langkah untuk mengatasi kekerasan senjata telah
dilakukan di tingkat lokal, negara bagian dan federal. AS telah membuat
kebijakan melarang akses senjata api bagi individu dalam kelompok resiko
tinggi. AS melarang perdagangan senjata
api kepada individu di bawah 21 tahun dan senapan laras panjang pada usia
dibawah 18 tahun, serta melarang menjual senjata kepada warga negara asing.
Menjadi perhatian adalah perdagangan senjata api hanya 60-70 persen melalui
lisensi federal, sedangkan sisanya dari pasar ilegal yang sebagian besar dijual
kepada anak-anak muda.
Kejahatan senjata di kalangan pemuda, termasuk kasus penembakan di lingkungan sekolah AS telah menimbulkan perdebatan semakin kuat mengarah pada undang-undang pengendalian senjata, dan ketersediaan senjata api di AS. Diskusi pun terpusat pada pendidikan di sekolah, budaya kekerasan dan intimidasi (bullying), termasuk pengaruh video dan game kekerasan.
Solusi Tanpa Senjata
Direktur Asosiasi ilmu pengetahuan CDC, Linda Dahlberg mengatakan kejahatan senjata, khususnya di kalangan pemuda dapat dicegah dengan program membangun keterampilan menyelesaikan konflik tanpa menggunakan kekerasan. Program pengasuhan dan pengawasan juga memiliki dampak kuat, termasuk program komunitas mengubah lingkungan sosial dan fisik.
Program intervensi dilaksanakan komunitas lokal, seperti
program “Gencatan Senjata” di Chicago Boston, dan Virginia, di sepanjang
1990-an tergolong sangat efektif. Program gencatan senjata adalah sebuah
program berfokus pada mencegah penembakan dan mencoba untuk bekerjasama dengan
komunitas pemukiman untuk mencegah kekerasan.
Otoritas AS berusaha membuat senjata sulit didapatkan oleh anak-anak muda, termasuk menindak orang menjual senjata kepada remaja. Polisi juga menindak orang-orang yang membawa senjata secara ilegal, terutama di pusat kota. Kepolisian AS memiliki unit khusus dengan tugas utama untuk mengidentifikasi individu-individu yang membawa senjata secara ilegal dan menangkap mereka kedapatan membawa senjata ke jalan. Semua langkah itu bekerja mengurangi kekerasan senjata.
Menurut Profesor kriminologi Universitas Florida, Gary Kleck, pengendalian senjata tidak selalu dapat mengurangi kekerasan. Akan tetapi pendekatan berbasis luas cenderung mengurangi pembunuhan pada umumnya. Seperti, pelatihan kerja membantu individu untuk tidak melakukan kejahatan atau kekerasan.
“Satu hal perlu dicatat mencari penjahat lebih efektif mengurangi kekerasan, bukan secara khusus fokus pada senjata. Solusi utama, pada dasarnya mengajar pelaku untuk berpikir berbeda ketika menghadapi situasi kekerasan,” katanya.
Pertahanan diri boleh jadi alasan umum untuk mendapat izin sah kepemilikan senjata sipil, namun penyelesaian konflik tanpa senjata akan jauh lebih baik. [D-11]
Comments
Post a Comment
, ,