Anak Perempuan Terus Tertolak
![]() |
Salah satu poster kampanye "Selamatkan Bayi Perempuan" di India, |
Salah satu program pengendalian penduduk yang paling sukses
dan kontroversial adalah kebijakan satu anak yang dijalani oleh Tiongkok,
negara dengan populasi terbesar di dunia. Tiongkok memiliki jumlah penduduk
mencapai 1,3 miliar atau dua puluh satu persen dari populasi dunia.
Kebijakan satu anak dijalani oleh pemerintahan Tiongkok sejak 1979
diciptakan untuk mengurangi masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan di
Tiongkok.
Beijing mengklaim kebijakan tersebut telah mencegah lebih dari
250 juta kelahiran antara tahun 1980 dan 2000, dan 400 juta kelahiran dari
sejak 1979 hingga 2011. Pemerintah pusat menetapkan target penduduk untuk
masing-masing provinsi dan pejabat pemerintah daerah harus memastikan populasi
tidak melewati target. Bila target tidak tercapai maka pemerintah lokal akan
dihukum.
Pemerintah Beijing mewajibkan warga negaranya untuk memiliki satu anak. Bila ingin memiliki anak lagi maka akan dikenakan denda hingga lima persen dari pendapatan mereka. Rata-rata denda untuk satu anak antara 25.000-480.000 yuan (Rp 37 juta- Rp 630 juta). Lebih ekstrim, kehamilan tidak direncanakan atau tanpa otoritasi harus digugurkan.
Kebijakan satu anak telah menyebabkan angka kelahiran di Tiongkok turun dari 2,63 kelahiran per perempuan pada 1980 menjadi 1,61 kelahiran per perempuan pada 2009. Rendahnya angka kelahiran telah memberikan manfaat sosial dan ekonomi. Setelah 50 tahun, Tiongkok telah meningkatkan standar hidup dengan menjaga tingkat pertumbuhan turun. Akses terhadap sumber daya meningkat dengan cakupan air bersih meningkat menjadi 94 persen, akses layanan medis dan asuransi pun meningkat.
Namun, kebijakan satu anak memiliki konsekuensi budaya
mengutamakan anak laki-laki, mengarah pada pembunuhan janin perempuan. Sebagai
hasilnya, pemerintah Tiongkok melonggarkan kebijakannya yang memungkinkan
pasangan di pedesaan yang memiliki anak pertama perempuan untuk mendapatkan
anak kedua.
Keberhasilan Tiongkok mengendalikan penduduknya terlihat pada catatan penduduk 2007. Sebanyak 37 persen populasi Tiongkok melaksanakan kebijakan satu anak. 52,9 persen penduduk telah mendapatkan keistimewaan memiliki dua anak, bila anak pertamanya perempuan. Sedangkan 9,6 persen pasangan diizinkan memiliki dua anak, terlepas dari jenis kelamin, dan 1,6 persen pasangan Tiongkok tidak memiliki batasan anak.
Hadiah Curian
Berbeda dengan Tiongkok yang memberlakukan kebijakan satu anak, India memiliki cara-cara khusus untuk menarik warga negara bersedia melakukan program keluarga berencana. India memiliki penduduk 1,14 juta orang dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,3 persen per tahun. Pemerintah India mulai melaksanakan Kebijakan Kependudukan Nasional pada 1976 dengan konsensus bahwa keluarga berencana meningkatkan kesejahteraan penduduk. Sementara keluarga berlebih merupakan bagian dari paket kemiskinan.
Pemerintah India juga memberikan pendidikan tentang masalah kependudukan menjadi kurikulum sekolah. Dengan prediksi PBB bahwa penduduk India akan mencapai 1,2 miliar orang pada 2030, maka otoritas India pun berlomba untuk mengajak penduduknya mengikuti keluarga berencana, bahkan dengan memberikan iming-iming hadiah.
Pejabat kesehatan di negara bagian Rajasthan, yang mengarahkan kemudi pengendalian penduduk, menawarkan hadiah seperti televisi, alat rumah tangga, bahkan mobil gratis bagi pasangan yang melakukan sterilisasi. Semua barang-barang hadiah itu merupakan barang curian yang telah disita aparat kepolisian.
Pada Juli-September 2011 Dinas Kesehatan Kabupaten Jhunjhunu memberikan undian berhadiah bagi setiap orang yang melakukan sterilisasi selama periode itu. Ketika itu diharapkan 6.000 orang datang untuk disterilisasi.
Diskiminasi
Akan tetapi, permasalahan yang sama terjadi di Tiongkok pun
terjadi di India. Anak perempuan telah ditolak bahkan sejak masih dalam
kandungan. Orangtua di India cenderung menyukai bayi laki-laki daripada anak
perempuan karena alasan ekonomi. Diskriminasi terhadap anak perempuan di India
memang telah lama terjadi. Keluarga India tidak menginginkan anak perempuan
dalam keluarga. Mereka ingin anak laki-laki sehingga mereka bisa mendapatkan
mahar yang banyak.
Sensus penduduk India tahun 2011 menunjukkan penurunan yang serius jumlah perempuan di bawah usia tujuh tahun. Aktivis mengkhawatirkan delapan juta janin perempuan mungkin telah diaborsi dalam satu dekade terakhir.
Nasib tragis bayi perempuan India seolah menjadi cerita umum dan dialami jutaan rumah di seluruh India. Populasi anak perempuan telah semakin parah. Pada tahun 1961, untuk setiap 1.000 anak laki-laki di bawah usia tujuh tahun, ada 976 anak perempuan. Saat ini, angka tersebut turun tajam menjadi 914 anak perempuan.
Rasio gadis-gadis muda India untuk anak laki-laki adalah salah satu yang terburuk di dunia setelah Tiongkok. Banyak faktor yang ikut bermain untuk menjelaskan hal ini: pembunuhan bayi, penyalahgunaan dan penelantaran anak-anak perempuan. Tapi kampanye mengatakan penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan ketersediaan skrining antenatal seks, dan terkait genosida. Pemerintah India telah terpaksa mengakui bahwa strateginya telah gagal untuk mengakhiri aborsi janin perempuan.
Perdana Menteri Manmohan Singh menggambarkan aborsi janin perempuan dan pembunuhan bayi sebagai "memalukan" dan menyerukan "perang salib" untuk menyelamatkan bayi perempuan.
Sabu George, aktivis India yang
paling terkenal dalam masalah ini, mengatakan pemerintah India sejauh ini hanya
menunjukkan sedikit tekad untuk menghentikan praktik genosida perempuan India.
Strategi pemerintah India untuk melindungi bayi perempuan tidak berhasil.
Tes penentuan seks kandungan (USG)
juga berkontribusi mendorong upaya dan penghapusan janin perempuan sebagai alat
yang efektif kontrol populasi. Pada akhir tahun 80-an, setiap koran di Delhi
menawarkan iklan USG penentuan seks kandungan. “Klinik-klinik dari Punjab
bahkan membual bahwa mereka memiliki pengalaman 10 tahun dalam menghilangkan
kelahiran anak-anak perempuan dan mengundang para orangtua untuk datang ke
klinik," kata George.
India pun mengambil langkah pada tahun 1994 dengan menetapkan aturan Test Penentuan Pra Natal (PNDT) melarang aborsi. Pada 2004, aturan itu diamandemen dengan memasukkan aborsi akan mendapat sanksi hukum jika kehamilan lebih dari usia 12 minggu. [Daurina Lestari Sinurat]
Comments
Post a Comment
, ,