Referendum Konstitusi Mesir Diwarnai Sengketa


Perempuan Mesir memberikan suara atas referendum draf Konstitusi Mesir, Sabtu (15/12)
[KAIRO] Referendum Konstitusi Mesir putaran pertama pada 15 Desember diwarnai dengan sengketa. Kelompok aktivis hak asasi manusia (HAM) menyerukan pemerintah untuk mengulang referendum putaran pertama. Mereka menuduh pemungutan suara telah dirusak oleh pelanggaran yang meluas, Minggu (17/12).
“Komisi pemilihan suara untuk kepentingan konsensus nasional harus mengakui bahwa komisi tidak mampu memastikan organisasi yang baik, dan harus mengulang referendum,” kata el-Negad Borei, juru bicara salah satu kelompok HAM.

Kelompok aktivis HAM menuduh para pemilih telah dipengaruhi di pusat-pusat pemungutan suara. Islamis yang mendukung konstitusi langsung mengklaim mereka memimpin dengan mayoritas “setuju,” meski hasil resmi belum diumumkan. Perwakilan dari tujuh kelompok HAM mengatakan tidak ada pengawasan yang memadai oleh para hakim, dan pemantau independen dilarang menyaksikan penghitungan suara.

Sebanyak 10 dari 27 provinsi Mesir telah memulai referendum menentukan apakah setuju atau menolak rancangan konstitusi Ikhwanul Muslimin. Sebanyak 17 provinsi lainnya akan melakukan referendum, Sabtu depan.

Perwakilan aktivis HAM mengatakan mereka memiliki laporan banyak individu berbohong mengidentifikasi  diri mereka sebagai hakim, perempuan dicegah memberikan suara, dan pada anggota Ikhwanul Muslimin diperbolehkan masuk dalam tempat pemungutan suara. Mereka juga mengeluhkan umat Kristen ditolak memasuki tempat pemungutan suara, dan beberapa pusat-pusat pemilihan ditutup lebih awal dari yang dijadwalkan. 

Klaim Menang

Ikhwanul Muslimin telah mengklaim memperoleh suara mayoritas dalam referendum putaran pertama. Mereka menyatakan memperoleh 57 persen suara mendukung konstitusi. Surat kabar negara Al-Ahram menerbitkan hasil tidak resmi mendukung klaim tersebut.

Menurut situs resmi televisi negara Mesir, suara “tidak” paling kuat berada di Kairo dengan 68 persen. Provinsi lain yang juga memberikan suara mayoritas “tidak” terjadi di Gharbiyah, sebelah utara Kairo. Sementara suara “setuju” paling kuat terjadi di kalangan konservatif, provinsi pedesaan seperti Assiut dan Sohaq.

Kota Alexandria hampir 56 persen memilih “setuju,” sementara data berbeda menyatakan “tidak.” Seorang aktivis revolusi Mesir, Wael Ghonim menyimpulkan dalam akun Twitter-nya bahwa dari 100 warga Mesir, 69 orang memberikan suara, dengan 18 suara mengatakan “setuju,” dan 13 suara menyatakan “tidak.”

Oposisi Front Keselamatan nasional mengatakan tidak akan mengakui hasil tidak resmi apapun, dan akan menunggu hasil resmi, setelah pemungutan suara Sabtu depan. Front menyerukan rakyat Mesir untuk turun ke jalan-jalan, Selasa (18/12), untuk menolak rancangan konstitusi, mencegah penipuan, dan membela kebebasan mereka.  Front menuding pemungutan suara telah dirusak oleh penyimpangan dan pelanggaran.

Referendum rancangan konstitusi Mesir merupakan salah satu tahap reformasi yang dipilih oleh bangsa Mesir, pasca revolusi penggulingan mantan presiden Hosni Mubarak. Sebanyak 51 juta pemilih akan menentukan apakah Mesir akan menjadi negara agama di bawah Ikhwanul Muslimin atau mempertahankan tradisi sekuler berkarakter Islam. Rancangan konstitusi telah mendapat perlawanan dari kaum sekuler-liberal dalam tiga minggu terakhir menyebabkan 10 orang tewas, dan 1.000 orang lainnya luka-luka.

Rancangan konstitusi secara jelas mengadopsi prinsip-prinsip hukum Islam yang ketat. Tiga artikel dalam konstitusi secara eksplisit menyebut, Islam adalah agama negara, prinsip-prinsip hukum Islam atau Syariah menjadi sumber dalam membuat undang-undang, dan pembatasan bahasa pada Bahasa Arab sebagai bahasa resmi Mesir.

Ikhwanul Muslimin telah memaksakan visi dan ambisi mereka untuk membawa pemerintahan Islam ke dalam draf konstitusi. Oposisi menuding konstitusi membatasi hak-hak perempuan, memberlakukan hukum Islam keras, serta membatasi kebebasan beragama. [AFP/AP/D-11]

Comments

Popular Posts