Negara Wajib Mencerdaskan Kehidupan Bangsa


Eforia Kegembiraan rakyat Indonesia atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pada 8 Januari lalu, masih sangat terasa. MK telah menyatakan bahwa RSBI bertentangan dengan UUD 1945 dan dianggap sebagai bentuk liberalisasi. Ketua MK Mahfud MD mengatakan bahwa RSBI menciptakan diskriminasi dalam pendidikan.
Saya sendiri termasuk yang memuji putusan bijaksana MK tersebut. RSBI menciptakan diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan Indonesia. Padahal konstitusi menyatakan bahwa semua warga negara berhak memperoleh pendidikan.

Di bawah ini adalah argumen saya tentang RSBI yang pernah saya tulis di Suara Pembaruan pada April 2010.

Orangtua calon siswa sebuah SMAN di Jakarta khawatir anaknya tidak bisa masuk ke sekolah SMA unggulan atau sekolah yang mendapat label sekolah rintisan bertaraf internasional (SBI). Pasalnya SMAN 81, yang akan dimasuki sekolah sang anak, hanya memberikan porsi 20% siswa baru melalui jalur ujian nasional. Sedangkan 80% ditentukan melalui jalur mandiri mengikuti ujian seleksi yang dibuat sekolah.

Di SMPN 115 Tebet, Jakarta tahun ini pun dari 9 kelas yang dibuka untuk mahasiswa baru, hanya 1 kelas reguler yang seleksi masuknya berdasarkan peringkat nilai ujian nasional. Itu pun diperebutkan oleh siswa di seluruh kabupaten.

“Ini mengerikan, ada diskriminasi jadi buat apa ujian nasional. Sekolah SBI menghilangkan kesempatan masyarakat biasa mengakses pendidikan,” ujar seorang orangtua, sebut saja Mrd yang berharap anak keduanya masuk SMA negeri 81 berlabel sekolah bertaraf internasional.

Setelah masuk sekolah rintisan SBI pun, orangtua wali harus berani merogoh koceknya cukup dalam. Mrd, mengungkapkan tahun lalu, ketika anak pertamanya masuk SBI dirinya diminta membayar sumbangan sekolah sebesar Rp 10 juta.

”Sekarang katanya sudah naik menjadi Rp 30 juta. Uang sekolah mencapai Rp 450 ribu perbulan,” katanya.

Berbeda dengan SD negeri dan SMP negeri regular yang dilarang memungut biaya. SBI dan sekolah rintisan SBI berdasarkan, peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 78/2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, diperbolehkan memungut biaya untuk keperluan penyelenggaran SBI.

Permen tersebut dengan kata lain menyatakan hanya masyarakat yang mampu membayar yang memiliki akses ke sekolah SBI. Sebagai konsekuensinya terjadi eksklusifitas dan diskriminasi terhadap siswa berduit. Penerimaan siswa baru tak lagi ditentukan oleh kompetensi siswa melainkan berdasarkan tingkat ekonomi siswa. 

Direktur Institute for Educatioan Reform (IER), Utomo Dananjaya menangkap diskriminasi dari penerapan standar-standar pendidikan yang diterapkan pemerintah. Pemerintah membentuk kastanisasi sekolah negeri.

”Kita kembali ke zaman kolonial Belanda yang membagi sekolah menjadi dua kategori. Yakni, sekolah kelas satu untuk pribumi bangsawan dan sekolah kelas dua untuk pribumi biasa,” ujarnya.

Negara mendiskriminasikan bangsanya sendiri berdasarkan tingkat ekonomi. Terjadi perbedaan perlakuan, mereka yang kaya dan mampu membayar mahal mendapat hak istimewa masuk ke SBI.

”Betapa bahayanya cara ini. Pemerintah menganggap sekolah sebagai komoditi, siapa yang mempunyai uang bisa masuk SBI,” tandasnya.

Padahal bapak bangsa Indonesia yang merasakan keburukan dari diskriminasi pada pribumi bangsawan dan pribumi biasa itulah melahirkan pembukaan konstitusi UUD 1945. Konstitusi menyatakan, tugas negara mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ada 2 amanat dalam UUD 1945, pertama mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai mutu pendidikan dalam aspek kualitas. Kedua, pemerataan akses pendidikan dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan dari aspek kuantitas.

Pakar Pendidikan Universitas Paramadina itu mengatakan, pendidikan adalah hak semua warga negara. Hak warga negara diperlakukan sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

”Negara seharusnya menjamin agar tidak ada satu anak pun yang tersingkirkan,” tandas Utomo.

Tuntutan Pasar

Sementara Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh mengakui adanya pembedaan dalam pendidikan sekolah negeri. Namun menurutnya itu berdasarkan kompetensi peserta didik.
Dikatakannya, pembedaan standar-standar sekolah negeri berlaku untuk memberikan pilihan bagi masyarakat.

”Masyarakat tidak harus masuk sekolah bertaraf internasional dan harus bayar mahal. Sekolah tidak boleh memaksakan siswa, baik yang punya maupun tidak punya uang harus bayar sama,” tandasnya.
Menurutnya, pemerintah telah memenuhi standar nasional pendidikan. Namun, SBI muncul karena tuntutan ”pasar” karena ada tuntutan untuk mengikuti standar internasional.

”Karena adanya tuntutan lebih itulah ada SBI, banyak orangtua berani mengeluarkan uang hingga Rp 50 juta untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional,” ujar Nuh.

Pakar Pendidikan Winarno Surakhmad menentang pasal 50 ayat (3) UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal tersebut mendorong sektor pendidikan untuk berstandar internasional. Pasal itu mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Dia meminta Menteri Pendidikan Nasional menghapus pasal yang mengharuskan setiap daerah mempunyai sekolah bertaraf internasional.

”Penerapan sekolah internasional menghina sekolah nasional. Kecerdasan bangsa harus dibangun dengan pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Indonesia,” kata penasehat PB PGRI itu. 

Paradigma Salah 

Pemerintah membangun sistem pendidikan dengan paradigma yang salah. SBI dipaksa menerapkan kurikulum negara OECD atau negara maju seperti Cambridge. Negara-negara seperti Jerman dan Jepang menjadi negara maju bukan karena mereka bisa berbahasa Inggris atau sekolah bertaraf internasional. Namun, karena negara Jerman dan Jepang dibangun atas kemampuan bangsanya berdasarkan nilai-nilai mereka. 

”Kita ingin mengejar ketertinggalan dan dipaksa berkompetisi tetapi tidak tahu berkompetisi dengan siapa,” kata Winarno. 

Pemberlakuan standar-standar yang membuat strata di sekolah negeri seharusnya dihapus. Semua warga negara harus mendapatkan standar pendidikan yang sama. Adalah tugas negara memastikan semua warga negeranya memperoleh hak yang sama yakni memperoleh pendidikan yang bermutu. Pemerintah tidak boleh membeda-bedakan siswa berdasarkan status sosial atau tingkat ekonominya.

Executive Director Economic and Human Resource Development  Institute Abdul Malik menuturkan pemerintah harus memastikan semua anak memperoleh pendidikan bermutu yang sama. Baik anak yang tinggal di kota, di desa maupun di pinggiran. Pemerintah harus menjamin kualitas pendidikan sekolah dasar sesuai dengan standar nasional pendidikan. 

“Setiap sekolah harus memenuhi standar pelayanan minimal yang bisa memastikan pelayanan pendidikan bagus, seperti tenaga pendidik bermutu, memiliki laboratorium, menyediakan buku pelajaran gratis,” ujar Malik. 

Dengan demikian anak-anak bangsa yang tinggal di berbagai daerah, di desa maupun di pinggiran atau kawasan kumuh dapat menikmati pelayanan pendidikan bermutu sesuai dengan standar nasional pendidikan.  

Pendidikan Nasional harus kembali kepada konstitusi yakni pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Pendidikan Nasional harus diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila pendidikan menjadi sarana untuk mencapai tujuan itu, yakni mencerdaskan bangsa, adalah kewajiban negara menjamin hak setiap warga negaranya untuk memperoleh pendidikan bermutu. Amanat UUD 1945, Pasal 31 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.  Oleh karena itu RSBI harus lah dihapus, dan pemerintah memberikan pendidikan sama bagi semua warga negara.  [ Daurina Lestari Sinurat ]

  

Comments

Popular Posts