Kotak Hitam JT 610 Dibuka, Siapa Bersalah Atas Jatuhnya Pesawat?
![]() |
Lion Air PK-LQP Boeing 737 Max-8 |
Benang merah penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2018 lalu mulai terkuak. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengungkapkan hasil investigasi awal kecelakaan pesawat yang telah menyebabkan kematian 189 penumpang dan awak pesawat dalam penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang.
Berdasarkan data dari kotak hitam flight data recorder (FDR) terungkap bahwa pesawat Lion Air PK-LQP dengan unit pesawat Boeing 737 Max-8 sudah enam kali mengalami gangguan sejak 26 Oktober 2018 dan seharusnya tidak terbang untuk dilakukan perbaikan. Masalah berkaitan indikator kecepatan, ketinggian pesawat, dan sensor angle of attact (AOA), yang menunjukkan kemiringan pesawat.
Meski begitu, teknisi maskapai Lion Air mengklaim telah melakukan perbaikan dan memberikan izin terbang untuk pesawat PK-LQP dengan rute penerbangan besok harinya dari Bandara Soekarno Hatta-Pangkal Pinang.
"Ada enam kali pesawat ini mengalami gangguan," ujar Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Kapten Nur Cahyo Utomo dalam konferensi pers di kantornya Jakarta Pusat, Rabu 28 November 2018.
KNKT menyatakan bahwa pesawat PK-LQP tidak layak terbang karena masalah serius yang dialami pada penerbangan sebelumnya, dari Bali ke Jakarta.
Sebelum mengangkut rute Jakarta-Pangkalpinang, diketahui pesawat melakukan kegiatan penerbangan dari Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali menuju Bandara Soekarno-Hatta pada 28 Oktober 2018. Dalam penerbangan itu, pilot melakukan beberapa prosedur untuk dapat mengatasi masalah hingga akhirnya dapat mendapat di Jakarta.
"Menurut pandangan kami pesawat tidak layak terbang, menurut pendapat kami seharusnya penerbangan tidak dilanjutkan," ujar Cahyo.
Kerusakan pada AOA
Pada penerbangan Lion Air PK-LQP dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depatu Amir Airport, data kotak FDR merekam adanya kerusakan pada AOA, terdapat perbedaaan antara AOA kiri dan kanan sekitar 20 derajat yang terjadi terus menerus. Pilot dan kopilot melaporkan mengalami masalah kesulitan memastikan ketinggian dan kecepatan pesawat kepada petugas pemandu lalu lintas penerbangan.
Hidung pesawat Lion Air JT 610 turun secara otomatis hampir 24 kali dalam 11 menit, sebelum akhirnya jatuh di perairan Karawang.
Pilot dan kopilot sudah berulang kali berupaya untuk membawa pesawat naik kembali, sebelum akhirnya kehilangan kontrol. Pesawat kemudian menukik dengan kecepatan sekitar 700 kilometer per jam, sebelum akhirnya menghantam laut.
"Kedua pilot terus berjuang sampai akhir penerbangan," kata Cahyo.
Data penerbangan Lion Air JT610 konsisten dengan penilaian sejumlah pakar bahwa sistem komputer Boeing yang dipasang pada model 737 Max, bermasalah.
Sistem yang dikenal dengan sebutan maneuvering characteristics augmentation system (MCAS) itu berfungsi mencegah pilot menaikkan hidung pesawat terlalu tinggi dengan cara menukikkan pesawat secara otomatis.
Dalam kasus Lion Air JT610, MACS tidak bekerja dengan baik sehingga setiap kali pilot menaikkan hidung pesawat, MCAS aktif kembali dan menurunkan hidung pesawat. Itu terjadi akibat sensor AoA yang terpasang pada badan pesawat menampilkan data yang keliru. Data ini berperan penting dalam pengaktifan MCAS.
Keluarga gugat Boeing
Meski penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 yang menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat, telah terungkap, namun, Pemerintah, yakni Kementerian Perhubungan dan KNKT, tidak dapat menentukan siapa yang melakukan kesalahan dalam insiden tersebut.
Berdasarkan perjanjian internasional, pihak penyelidik dari Indonesia dilarang untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atau siapa yang bersalah, dan hanya diperbolehkan untuk membuat rekomendasi keselamatan untuk industri penerbangan di masa depan.
Kementerian Perhubungan dan KNKT hanya mengeluarkan rekomendasi kepada Lion Air terkait isu keselamatan. pasca-jatuhnya pesawat Lion Air, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, juga menginstruksikan Lion Air membebastugaskan Direktur Teknik Lion Air dan sejumlah personel pesawat, yaitu Direktur Maintenance and Engineering, Quality Control Manager, Flight Maintenance Manager, dan Engineering. Kemudian Dirjen Udara membekukan lisensi untuk keempat personel tersebut.
Sedangkan, Polri masih melakukan penyelidikan non-teknis terkait jatuhnya pesawat Lion Air JT 610. Penyelidikan ini untuk mengetahui apakah ada unsur kelalaian yang berujung pidana pada kasus ini.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, Timsus sudah melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan terhadap Pilot, kru dan teknisi Lion Air di Denpasar, Bali. Mengingat, Pesawat Lion Air dengan nomor registrasi PK-LQP sebelum kecelakaan sempat terbang dari Pulau Dewata ke Jakarta.
"Sudah diperiksa di Denpasar. Dari Denpasar ke Jakarta. Hasil pemeriksaan ini semua sedang di kumpulkan masih investigasi masih penyelidikan," kata Dedi
Oleh karena itu keluarga korban mencari keadilan dengan mengajukan gugatan terhadap The Boeing Company, sebagai produsen pesawat Beoing 737 Max 8 ke sebuah pengadilan di Amerika Serikat. Keluarga korban mengajukan gugatan merujuk laporan lembaga aviasi Amerika Serikat, Federal Aviation Administration (FAA), yang dipublikasi pada 7 November 2018 lalu.
FAA menilai bahwa Boeing 737 MAX memiliki kondisi yang tidak aman dan kondisi ini juga mungkin ada dan dapat terjadi pada Boeing 737 MAX lainnya.
Keluarga salah satu korban mengajukan gugatan melalui Firma hukum Colson Hicks Eidson dan BartlettChen LLC di pengadilan Circuit Court of Cook County, Illinois, Amerika Serikat, 14 November 2018.
"Gugatan ini kami ajukan atas nama klien kami yaitu orang tua dari almarhum Dr. Rio Nanda Pratama yang tewas ketika pesawat Boeing 737 MAX 8 jatuh ke laut,” kata Curtis Miner dari Colson Hicks Eidson, dikutip dari siaran persnya, Kamis 15 November 2018.
FAA telah melakukan investigasi terhadap sistem kontrol penerbangan otomatis yang terpasang pada pesawat Boeing 737 MAX. Sistem ini tergolong baru dan tidak dipasang pada pesawat versi 737 sebelumnya.
Boeing diduga tidak memberitahukan sejumlah maskapai soal sistem automated stall-prevention dalam sensor angle of attack (AOA) di Boeing 737 Max 8. Sistem tersebut diduga menjadi penyebab jatuhnya pesawat Lion Air JT 610.
Sistem kontrol penerbangan tersebut dirancang untuk mencegah agar awak penerbangan tidak salah mengangkat hidung pesawat terlalu tinggi. Namun dalam kondisi tertentu, sistem tersebut dapat tiba-tiba mendorong hidung pesawat ke bawah dengan kuat sehingga awak pesawat kehilangan kontrol dan tidak dapat menarik hidung pesawat kembali ke atas pada waktu yang tepat sehingga terjadi kecelakaan.
Sistem ini dapat menyala secara otomatis bahkan jika pilot menerbangkan pesawat secara manual, dan tidak akan menduga apabila sistem dapat sewaktu-waktu aktif.
Austin Bartlett dari BartlettChen LLC, yang juga ikut mengajukan gugatan ini menyatakan, para ahli keamanan dan kepala serikat pilot menyatakan bahwa The Boeing Company telah gagal memperingatkan klien dan pilot pesawat 737 MAX mengenai perubahan sistem kontrol penerbangan yang signifikan ini dan gagal menyampaikan instruksi yang benar dalam manualnya.
Comments
Post a Comment
, ,